Dari Sisi Gelap ke Sisi Terang
Berawal dari gelap dan dingin. Mulai
kupasang sesuatu di telingaku. Sesuatu sebagai perantara bagi ku untuk
mendengarkan alunan melodi dan instrumen berlirik kesedihan untuk menuangkan
pikiran ku tentang kehidupanku yang selama ini telah aku jalani selama 16
tahun. Disini mulai kutulis segala sesuatu yang kuingat dari masa laluku yang
pastinya tak akan bisa aku ulangi lagi. Tak akan aku tayangkan segala
sesuatunya dengan spesifik melalui tulisan ini. Hanya, orang dapat merasakan
bahwa inilah kenyataan yang dapat diterima oleh seseorang 'Aku' yang ada di
tulisan ini. Tak kupandang baik benarnya penulisan ku. Pelajaran Bahasa
Indonesia yang kutekuni sejak aku lahir, tak semuanya aku masuki ke karya tulis
ini. Tak tentu darimana harus ku mulai. Malam itu, di Kota Minyak itu, telah
lahir seorang insan laki-laki yang akan menjadi bagian dari kalian para
penguasa dunia. Tangisan awalnya menandai bahwa pulmo tersebut telah terisi, muscularis intercostalis costae mulai
terangkat dan berkontraksi hebat, volume rongga dada mulai membesar dan
mengecil. Disanalah letak kesyukuran kedua orang tua nya melahirkan sesosok dia
yang akan menjadi tempat di hari tua nya. Ramadhan itu, menjadi Ramadhan
terindah bagi mereka. Telah tiba amanah dari Tuhan kepadanya.
Tak akan pernah bisa dimasuki didalam
akal dan fikiran manusia yang dangkal, dan dikuasai oleh ilmu pengetahuan yang
ditujukan untuk menguasai dunia semata yang sementara. Jikalau teori mengatakan
bahwa kecepatan cahaya melebihi kecepatan suara, angin, air, manusia, hewan,
atau apapun komponen biotik dan abiotik dalam hidup ini. Justru aku merasa
bahwa ada yang tersirat di balik itu. Tak bisa dihitung. Mungkin kebodohanku
lah yang berkaata. Kecepatan waktu lebih dari kecepatan cahaya. Tak bisa
kubayangkan secepat ini semuanya berlalu. 183 sentimeter, aku harus melihat
dari saat aku 52 sentimeter dahulu. Yaitu awal perkembangan zaman modern. Era
reformasi telah dimulai. Meninggalkan luka dan duka masa orde baru yang
dirasakan oleh mereka yang lahir di tahun 60 an. Kebodohan ini tetaplah menjadi
kebodohan semata. Karena tidak akan ada satupun yang mengkaji hal ini. Kuanggap
ini sebagai episode pertama ku dalam karya tulisan ini. Tak banyak yang bisa
mengerti. Kata-kata ini memang sangatlah sulit kupahami sendiri. Aku perankan
segala hati dan fikiran ku disini. Yang kelak, akan ku bukukan sendiri, dan
menjadi aset jika anak cucuku menjalani masa pendidikan formal nya yang mereka
harus jalani dan mencari karangan-karangan buta. Jelas karangan ini akan
ditolak oleh pengajar pengajar disana. Tak tentu bahasa. Tak jelas maksudnya.
Orang bodoh yang hanya menulis hal bodoh seperti ini. Tapi bagiku inilah
cerita, yang akan menggambarkan kehidupanku. Menjadi kenangan disaat tak tahu
lagi aku harus kemana. Tak tahu dimana hati ini akan bermuara. Tapi pastinya
usiaku belum lanjut. Di masa 20an akan kubuka dan kutawakan sendiri hasil ini.
Berawal dari kehidupanku bersama
keluarga-keluarga ku. Tak mengerti dahulu aku. Tapi kini, faham sudah aku
tujuan demi tujuan yang selama ini diambil. Tak lain hanya untuk memenuhi emosi
dan amarah yang agar tidak terluapkan dan bersanding dengan erupsi Gunung
Merapi pada itu. Ku awali pendidikan dibawah dasar ini di Kota Wisata itu. Tak
satupun bisa merasakan challenge hidup
ini. Bahkan pada saat itu tak pernah aku rasakan sedikitpun. Yang ku tahu hanya
bagaimana bisa aku menghabiskan waktu waktu ku untuk kebahagiaan diriku yang
belum tahu apa apa. Cinta ku terhadap kota ini tak begitu besar, kutinggalkan
dia. Banyak yang tertinggal setelah erupsi itu. Tak banyak yang aku ingat.
Dalam kehidupan ini aku hanya memandang bahwa yang berarti lah yang akan
diingat. Seperti dia yang mengatakan. Dia. Dia yang masih belum terlihat.
Kupergi jelajahi waktu dan kembali ke dasar. Di Kota Madani aku hidup. Seakan
terbuka aku dari kelambu ku selama ini. Mulai tahu aku apa itu rumah, apa itu
uang, harta, kakayaan materi, yang pada nantinya satupun tidak ada gunanya.
Sesungguhnya, orangtuaku telah menanamkan sesuatu yang sampai saat ini, sampai
aku menulis kenyataan bodoh ini, aku masih mempercayainya. Aset seumur hidupku.
Dari orang tua ku. Aset ini berhubungan erat dengan kerohanian dan
kerelijiusan. Tak tahu aku apa kata kata itu penulisannya benar. Yang jelas,
aku hidup diatara orang tua ku yang kini menjadi ahli Filsafat. Bergelar
magister. Didapati dari sesuatu hal yang ia kerjakan. Hal itulah menjadi
keberuntungan ku pertama sekali yang kudapati semasa hidupku dan menjadi awal
rentetan keberuntunganku lainnya. Percayalah, sampai pada saat ini, syafa'at
nya lah yang menyertai kami.
Singkat cerita, masa-masa pendidikan
formal dasarku ini tidak banyak yang menarik. Cuma sedikit yang kudapati.
Mungkin karena saat itu awal dari masa modern dimulai. Sudah kukenal bagaimana
cara menggunakan alat-alat yang menggunakan gelombang elektromagnetik itu.
Kukenal sahabat dan beberapanya kini telah rapuh, dan hanyut. Ditelan kejamnya
dunia pada masa kini. Namun di menengah ini, kurasakan beda. Mulai kujajaki
kehidupan yang belum kulalui sebelumnya. Mulai tekun ku jalani pendidikan ini.
Mulai kukenal apa arti hidup sebenarnya. Tanpa Tuhan apalah arti hidupku ini.
Dan apa arti hidup mereka. Setelah kepulanganku dari Tanah Batak menjalani
perbaikan akhlak dan perilaku ku disana, mulai sedikit demi sedikit
kuaplikasikan dalam hidup pada saat itu. Banyak yang berubah. Namun bisa hilang
tanpa bekas. Pergaulan ku tak menghilangkan semuanya. Di menengah ini kukenal
beberapa aspek-aspek kehidupan. Menjadi bagian dari seseorang yang awalnya tak
tahu kita siapa. Menjadi seorang sahabat. Menjadi seorang yang dibutuhkan oleh
seorang lainnya. Lantaran makhluk sosial, tak bisa memang dipungkiri komunikasi
lah yang akan merujuk kita kepada aspek-aspek itu. Terlalu cepat jika
kutuliskan. Aku ingin merasa sedikit lama untuk diungkapkan. Karena ini bukanlah
hal yang tidak biasa lagi. Sudah dirasakan oleh semua orang. Tah lagi aku
yang 16 tahun kini. Kecinttanku terhadap olahraga ku sandingkan erat dengan
pendidikan formal akademik yang kudapati. Aku yakin semuanya pasti tak sia-sia.
Olahraga ini akan mengingatkan ku dengan semua yang terjadi kini. Dan mengapa
aku bisa sampai seperti ini. Tak sengaja kudapati keahlianku disana, dan tak
tahu akhirnya bisa menjadi modal hidupku. Langsung saja, kekayaan ku yang tak
harus keceritakan disini, dan tak harus ku tuliskan, akan ku samarkan
sedemikian rupa, layaknya ikhfa di tajwid Al Qur'an. Dan tidak pula terlalu
disamarkan layaknya cerita mu itu yang bertakjub 'My 3am'. Hidup
memanglah seperti air. Mengalir. Tapi ingat, air mengalir dari tempat yang
tinggi ke tempat yang lebih rendah daripadanya. Aku tak ingin menjadi seperti
air, namun mengalir tetap kuikut dengan makna menjalani. Kuanggap hidup ini
seperti ku menaiki tangga pada malam hari dengan lampu sorot disetiap lantainya
dan tangga tersebut tak akan tampak dimana ujung atau akhirnya yang tak akan
pernah diketahui, dan setelah kau lewati satu lantai maka lampu dari lantai
tersebut akan padam untuk selamanya tak akan pernah bisa hidup lagi. Mengapa
malam hari? Karena kuyakin mimpi-mimpi yang indah itu akan datang dimalam hari
setelah kau mulai menutup do'a mu dengan kata amin,
maka Tuhan akan mulai merancang skenario mimpi indah mu tersebut. Setiap lantai
kuibaratkan sebagai pencapaian dan setiap umur dalam hidupku. Cahaya lampu
menandakan bahwa Tuhan senantiasa akan memberi berkah dan Rahmat nya kepada
kita. Disetiap umur dan pencapaian kita. Lampu yang mati mengatakan bahwa tak
seharusnya kau turun kembali dan menyesali perbuatanmu. Karena apabila kau akan
turun, kau tak akan tahu kembali anak tangga yang mana yang tadinya kau pijaki,
dan itu membuatmu terjatuh dan sakit. Tak tahu ujungnya. Percayalah, hidup yang
seperti tangga yang tak tahu ujung nya akan sama layaknya seperti umur lantaran
rahasia Tuhan. Kau harus rela diberhentikan di lantai manapun. Di lantai 16
ini, tak akan bisa kuulangi kembali masa laluku di bawah. Tapi hanya bisa
kukenang, karena pernah kudapati cahaya dari nya yang begitu terang dan
mengesankan. Kembali kemasa menengah ini, lantaran abad 20 telah memaksa kami
untuk lebih maju dari sebelumnya. Untuk menjadi lebih tahu isi dan menggali
dalam nya makna kehidupan yang tak ada dasarnya ini. Mulai kukenal perasaan ku.
Sebenarnya perasaan ini hanyalah sebatas perasaan yang telah ada sejak mulai ku
dilahirkan. Tapi pada saat ini baru ku mulai dengan seseorang yang lain
denganku. Cinta pertamaku. Kekayaan bathin inilah yang akan menyiksa bathin
seseorang yang tak berlindung kepada-Nya. Cinta ini memang bukanlah cinta
biasa. Tak ingin kudefiniskan sebagai cinta. Namun, sayang lebih tepat padanya.
Cinta sedikit berasumsi dengan hawa nafsu belaka dan berlebihan. Namun sayang,
ku arahkan kepada menjaga, melindungi, tidak merusak, dan sama sekali tidak
akan merubah kepribadiannya. Namun tak semua sama. Mungkin dia tak sama
denganku. Terlalu banyak pronomina ‘dia’ pada cerita ini. Mulai kuganti cinta
pertama ku ini dengan artikula ‘Sang’ Pertama. Sungguh mungkin tak kalian
rasakan bahwa setiap ‘dia’ di cerita ini kadang memiliki suatu makna ganti
terhadap seseorang yang berbeda. Sang Pertamaku. Islami. Sang pertamaku memang
sudah banyak dikenal. Tak tahu apa nantinya akan dibaca atau tidak. Tak ingin
aku berargumentasi soalnya. Tak ingin juga aku mendeskripsikannya dengan
kata-kataku. Mulai sudah ingin kuakhiri beberapa derita tentang asmara yang
selama ini membelenggu hati yang harusnya difungsikan untuk menetralisir racun
namun tampaknya berteman akrab dengannya. Tak banyak yang ingin kucurahkan
disini. Tak juga sedikit. Tak semua disini berkaitan dengan cinta dan asmara
yang membutakan segalanya. Tetapi, aku hanya ingin belajar dari kenangan-kenangan
pahit yang nantinya dapat menjadikanku seorang yang berhasil memetik buah yang
manis dari bibit pahit yang ditanam sebelumnya. Dari sisi gelap ke sisi terang
ini aku ingin menunjukkan bahwa setiap orang akan selalu berhadapan dengan yang
namanya perubahan. Namun apalah daya manusia yang hanya mendapat akal dan ilmu
pengetahuan layaknya setetes air laut di samudera yang luas. Tak mampu
memanfaatkan keberuntungan. Dan disanalah aku sekarang. Apakah aku mampu
menjaga rentetan keberhasilan dan keberuntunganku yang telah kujalin selama ini
dengan berkat dan syafa’at-Nya, dan bagaimana caraku untuk menjaganya. Di tengah
masyarakat yang luas, berbeda etnis, suku, ras, agama, dan adat istiadat.
Merupakan cobaan bagi diriku untuk bisa menjadikannya sebuah koin keberuntungan
untukku bisa masuk kedalam pintu kesuksesan kelak. Disamping asmara dan
kecintaan remaja masa kini yang membuatku ketar-ketir untuk melakukan kewajiban
dengan penuh tanggung jawab. Disinilah aku akan beranjak. Dari sisi gelap. Ke
sisi terang.
to be continued..
Comments
Post a Comment