Terima Kasih Putih Abu-Abu - Kenangan Manis di Don Bosco

Awalnya tak terbiasa dan enggan untuk memulai segalanya. Tak sanggup untuk berbalas cakap ataupun berbasa-basi layaknya budaya khas Nusantara. Namun, waktu memaksa ku untuk menulis ini diakhir rentetan sejarah panjang selama 3 tahun berseragam putih abu-abu. Tiap detik waktu, tiap rotasi bumi, seakan bulan masehi geram memaksa kita untuk cepat berpaling. Menoleh kedepan. Meninggalkan yang dongker dan menatap sinis mimpi-mimpi baru di masa menengah atas. Berlaku canggung dan lugu layaknya tak pernah tersentuh oleh lingkungan itu. Terlalu bodoh untuk melangkah. Keraguan beralaskan kekhawatiran menyelimuti sang penakluk mimpi untuk melangkah demi wujudkan sebuah impian yang menjadi obsesi.

Banyak hal yang mendasar tertanam didalam relung hati kita masing-masing. Yang tanpa kau sadari bisa menjadi bara api emosi kala hal yang mendasar itu dipersoalkan lebih dalam. Beda. Tak pernah dan mungkin tak akan pernah kita lihat sosok insan yang mempunyai persentase kesamaan hingga seratus persen. Disinilah letak rencana Tuhan yang menciptakan manusia akan beragam perbedaan dari ujung helai rambut hingga ujung kuku kaki. Seakan Tuhan ingin melihat hamba-Nya menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut menjadi sebuah kesatuan yang padu. Layaknya pelangi.

Tak akan pernah indah pelangi tanpa ada perbedaan warna disisinya. Tak akan pernah indah jika kau sendirian. Disinilah kita mulai berfikir, untuk apa aku diciptakan dengan keberagaman ini. Kita yang telah lalui segala hal di bangunan tua Servaas, di tingkat-tingkatan Scaglia, di tingginya tangga Alumni, di luasnya auditorium dan Green Area. Disanalah kita. Di keberagaman dengan rangkulan toleransi dan menginjak-injak panggung diskriminasi, kita bersama. Tawa menjadi haru. Namun, senyum tetaplah senyuman. Tapi berbeda maknanya.

Kala kau dulu tersenyum tersipu malu dengan ketidakakraban kita, tetapi sekarang kau tersenyum haru dengan harapan kita akan bertemu kembali. Bertemu kembali dengan sosok yang lebih beda hanya saja tetap menjadi dirimu sendiri yang dulu. Dirimu yang tertawa lepas kala lelucon itu digibahkan. Namun, keteguhan hati kita masing-masing lah yang banyak meredam haru dan tangis akan akhir dari pertemuan itu. Karena aku sadar, kau sadar, kita sadar. Perpisahan ini awal masa depanku, masa depanmu, masa depan kita. Nostalgia belum dimulai, tapi terus memanggil.

Persahabatan tak lagi menjadi jaminan kita bisa bersama. Langkah demi langkah mulai hadapkan kita ke jalan yang berbeda. Memposisikan kita di dalam takdir dan ruang yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Esa. Kau di kota tua. Dia di pulau yang berbeda. Terkadang kau hanya berharap angin lah yang dapat menyampaikan pesan rindu kala teringat kembali kebersamaan di kelas saat guru enggan menempatinya. Kecanduan yang semakin menggebu yang ingin kembali disuap dengan tawa manis senyum lesung pipimu, Sobat.

Sedikit penulis mulai spesifikasikan hal-hal ini dengan kenyataannya agar terbayang agaknya kebesaran Alma mater kita.

Padang Kota Tercinta. Menjadi saksi kisah pergaulan masa SMA yang tak akan pernah terjadi untuk kesekian kalinya dalam hidup yang hanya sekali ini. SMA Don Bosco Padang. Tempat menimba ilmu siswa berprestasi, tempat cabut siswa brandal, tempat tertawa siswa langang, tempat menangis siswa kasmaran, tempat amarah siswa kritis, tempat bertaqwa siswa taat, tempat bercinta siswa nafsu, tempat juara anak basket, tempat persahabatan paling gemilang angkatan hitam dua ribu tujuh belas.

Selamat berjuang. Semuanya tak akan indah bila tak bersamamu, Sahabat. 

I will never forget you.

Comments

Popular Posts